11 September 2014

12 km dari Lereng Merapi


Mungkin ini hanyalah sebuah kisah tentang keluarga kecil disebuah rumah yang sederhana serta letaknya yang jauh dari keramaian, pencemaran, dan hiruk pikuk kota. Semua pengalaman senang, sedih, kesal, capek, letih, dan haru kulaui bersama keluarga baruku. Kisah sederhana yang siap kuikuti dan kurasakan. Hari-hariku di desa kuawali saat tanggal 3 Juni 2013 dimana aku dan teman serumahku, Ully memasuki sebuah rumah yang beranggotakan 3 orang. Mereka adalah Bapak Inta, istrinya Ibu Rosa, dan eyang putri (ibu dari Bapak) yang berusia lebih dari 1 abad. Meskipun fisik mereka terlihat rapuh, namun harus kuakui semangatnya sangat luar biasa dan melebihi kami anak kota


Orangtua baruku menerimaku dengan sangat bahagia dan menyambutku dengan senyum hangat yang mencairkan suasana dingin ketika aku baru saja tiba dirumah tersebut. Rumah itu sederhana, beralaskan semen, tidak ada internit, dan dengan barang-barang seadanya. Meskipun sederhana, namun rumah baruku terawat dengan bersih. Awalnya aku mengira live in kali ini akan biasa-biasa saja, atau bahkan seperti live in yang pernah kulalui saat aku di bangku SMP. Tapi pemikiranku mulai berubah dengan berjalannya waktu dan kebersamaan yang kulalui dengan kehangatan dan kasih sayang dari keluargaku. 
Dihari pertama, saat semua orang dirumah, ibuku mengajakku untuk ke ladang. Karena penasaran, akhirnya aku memutuskan untuk ikut dengannya. Ladang itu terletak 1 km dari rumahku dan sedikit masuk ke dalam. Udara sore itu sangat sejuk dan suatu ketika rintikan lembut air membasahiku. Ladang yang siap untuk ditanami bibit cabe itu lumayan luas dan terdapat sekitar 25-30 polybag. Aku menanyakan tugas yang harus kukerjakan pada ibuku. Setelah aku diberikan pengarahan dan dilatik untuk menanam bibit-bibit itu, aku mulai memindahkan bibit-bibit itu dan memasukkannya kedalam galian lubang tanah tersebut dan menutupnya kembali dengan tanganku. 

Awalnya aku merasa itu pekerjaan yang sangat mudah dan tidak makan waktu lama. Namun, kenyataanya aku harus sabar membuka bungkus bibit itu satu-persatu dan memasukkannya ke dalam galian tanah tsb tanpa merusak akar kecil bibit tersebut. Tapi sore itu kami berhasil mendapatkan 1/3 dari lahan meskipun ada sebagian bibit yang harus terbuang karena jatuh di sawah.

Esoknya, kami kembali menlanjutkan menanam bibit-bibit cabe itu. Siang itu matahari sangat terik dan memanasi tubuhku. Padahal aku sudah memakai topi dan baju lengan panjang. Hatiku sudah berkata ingin berhenti saja, tapi begitu kulihat semangat bapak dan ibuku aku kembali semangat dan menghilangkan pikiran capek itu. Akhirnya tinggal 1/3 lagi yang tersisa. Sorenya kami kembali untuk menyelesaikan penanaman bibit tersebut. Ketika Ibu menanyai aku, “Sudah capek belom?”. Aku ingin sekali menjawab “Yaaaa.. Aku ingin istirahat” karena punggung dan dengkulku sudah pegal akibat harus jongkok dengan waktu yang sangat lama dan berdiri sebentar-sebentar. Tapi ketika kulihat kembali Ibuku yang penuh semangat menanam bibit-bibit itu, aku memutuskan untuk menahan rasa sakitku dan menghentikan keluh kesahku demi Ibu dan Bapakku. 

Sembari  bekerja, ibuku banyak bercerita tentang pengalaman pahit dan manisnya menjadi seorang petani. Petani bukanlah pekerjaan yang mudah dan bisa digantungkan keuntungannya. Karena hasil yang didapatkan petani tidak dapat dipredeksi dan membutuhkan waktu yang lumayan lama. Modal yang dibutuhkan untuk menanam bibit-bibit itu juga membutuhkan biaya tidak sedikit. Ibuku bercerita ia harus mengeluarkan modal uang sebesar 2juta untuk membeli bibit. Polybag dapat digunakan 3kali tanam saja dan setelahnya harus dilakukan rotasi tanah. Dan setiap minggunya harus diberi pupuk supaya dapat cepat tumbuh. Aku mulai sadar betapa sulit dan letihnya menjadi seorang petani. Padahal mereka bekerja keras demi menghasilkan makanan untuk kebutuhan banyak orang dan yang paling menikmati hasil mereka adalah kami, orang-orang kota yang seringkali malah menyia-nyiakan dan tidak menghargai. Aku juga sadar bahwa semua yang dapat kita makan adalah hasil dari sebuah proses panjang dan kerja keras para petani.

Selain itu, ibuku juga bercerita tentang kisahnya saat kejadian 2010 disaat Gunung Merapi meletus dan meninggalkan duka mendalam bagi banyak warga desa. Ibuku bercerita bahwa kejadian itu membuat salah satu lahannya hilang karena dilewati oleh erupsi merapi yang sekarang ini menjadi tempat tambang pasir. Padahal, dahulu daerah tersebut sangat subur dan mudah ditanami sayur apapun. Namun, ketika kutanya apakah beliau masih memikirkannya, beliau mengatakan dengan legawa bahwa keluarganya telah mengikhlaskan dan menjadikannya semua itu berkat. Aku sangat kagum dengan sikap mereka yang mau bersyukur saat keadaan tak membahagiakan sekalipun. Bahkan saat bencana tersebut, seluruh penduduk desa bersatu untuk membantu dan memenuhi kebutuhan satu sama lain karena seluruh tanaman di desa tersebut mati dan kering. 

Dihari yang keempat, aku melaksakan kerja bakti bersama teman-teman sedusunku. Kami mengumpulkan batu-batu dari sungai yang digunakan sebagai tambang pasir tersebut untuk digunakan sebagai bahan pembangunan gereja baru besok. Kami sangat lelah dan sinar matahari membakar kami semua karena kami kerja bakti jam 12 siang. Kami harus berjalan sampai di sungai tersebut dan mengangkut batu-batu tersebut digereja. Hal itu sangat terlihat susah, namun berkat usaha dan kekompakan kami, kami berhasil mengumpulkan dan membawa batu-batu tersebut untuk dibawa ke gereja. Kami senang karena kami telah melayani dan menjadi bagian dari pembangunan gereja baru tersebut.

Selama dirumah baruku, aku sangat bersyukur karena ibuku adalah seorang ibu yang sangat baik dengan perhatian denganku. Aku dan temanku selalu diberi makan dengan masakan yang enak dan selalu menyuruh kami untuk menambah makanan kami. Bahkan bapak dan ibu ku pun merelakan dirinya untuk makan terakhir setelah kami semua makan karena baginya kamilah yang terpenting dan mereka ingin memberikan yang terbaik untuk kami. Aku sangat berterima kasih atas perhatiannya yang sangat besar terhadap kami anak-anak angkatnya yang baru saja tinggal dengan mereka. Kasih sayangnya tak berhenti sampai disitu, mereka selalu menjagai kami saat kami keluar malam dan menunggu kami hingga kami masuk kerumah. 

Awalnya aku mengira bahwa 5 hari sangatlah lama dan membosankan, namun saat aku mengalami banyak pengalaman dan nilai-nilai kehidupan yang tidak kudapatkan sebelumnya, aku mulai merasa betah dan ingin tinggal lebih lama lagi. Aku ingin lebih lama merasakan dan menikmati keindahan alam dan segala sesuatu yang menarik disana. Namun mau tidak mau, aku harus berpamitan kepada bapak dan ibuku. Namun aku percaya bahwa itu bukan merupakan perpisahan terakhir, karena masih banyak perpisahan dan kedatanganku pada keluarga baruku di rumahku yang berjarak 12 km dari Lereng Merapi ini. Bagi kebanyakan orang mungkin tinggal di desa merupakan hal yang menjengkelkan atau bahkan menyedihkan. Tapi dari 5 hari ini aku telah mendapatkan sesuatu hal tentang keluarga, kebersamaan, cinta, kasih sayang, kerja keras, semangat bekerja, dan rasa syukur yang diberikan oleh keluargaku. Kelak, aku berjanji akan menjadi orang yang berhasil dan kembali kepada keluargaku di desa dengan memberikan senyuman yang paling membahagiakan untuk keluargaku disana. Terima kasih karena telah menjaga, merawat, dan memberiku nilai-nilai kehidupan yang sangat berarti dan membangun serta membuatku lebih mensyukuri semua hal yang telah aku miliki.

0 komentar:

Posting Komentar